Minggu, 26 Juli 2015

Kisah Titik

Seperti hadirnya waktu yang tak pernah terasa terus berjalan
Hingga tak kukira aku sudah ada di penghujung kisah yang kita buat dulu
Masih terlihat jelas di benakku warna cerah ilalang yang kita petik bersama dulu kini warnanya hilang ditelan waktu
Juga angin yang menerbangkan dandelion yang ku genggam sambil berlari
Tapi kini aku sadar, kita tak pernah memulai sebuah kisah
Bagaimana mungkin bisa aku mengakhirinya?
Bagaimana aku bisa membubuhi titik sedang kau tak pernah memulai kata-katanya?
Aku mulai terjebak dalam imajinasiku
Kini tak ada lagi yang namanya kisah
Aku hanya perlu mengakhiri semuanya dengan titik
Dengan begitu tak ada lagi sambungan kisah yang tergantung karena sebuah koma yang tak berkesudahan
Hanya titik dan semuanya akan berakhir tanpa pernah tahu kapan kita memulai
Tinggal sebuah titik dan semua akan berakhir

Kamis, 16 Juli 2015

Kafe Kopi: Troublemaker Klenger

Kafe Kopi: Troublemaker Klenger:  Diikutsertakan dalam  lomba menulis cerpen Unexpected Ramadhan 2015 Karya:  Uzein Malam ini sesudah sholat tarawih kami berku...

Kamis, 02 Juli 2015

Simalakama

Begitulah dunia, banyak orang berkata bahwa hidup itu pilihan. Namun adakalanya kita harus memilih diantara dua pilihan yang buruk. Memilih yang manapun akan sama menyakitkan dan merugikan. Kadang orang-orang baiklah yang selalu terjebak pada keadaan ini. Dicurangi oleh keadaan hingga tepuruk karena termakan ketidakadilan. Dalam epos Mahabharata keadaan seperti ini ada pada saat Raja Salya diperdaya oleh Duryodhana. Bukankah hewan sebaiknya diberi makan yang banyak terlebih dahulu sebelum akhirnya disembelih dan dimakan? Duryodhana berusaha membuat Raja Salya senang hingga akhirnya Raja Salya merasa berhutang budi padanya kemudian kesempatan ini dimanfaatkan Duryodhana untuk meminta Raja Salya ada dipihaknya, padahal sebenarnya ia ingin berada dipihak pandawa. Ah! Dasar simalakama. Saat kau bertemu dengan dua pilihan buruk dalam hidupmu, yang sebenarnya kau pilih adalah kesakitan apa yang akan kau rasakan nanti.

Rabu, 28 Januari 2015

Gie Memang Benar

Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka merasa benar, dan menganggap semua orang menyukai, menyanjung dan mengagungkannya? Jangan tanya padaku siapa orang-orang ini. Karena jika aku menyebutnya, aku tak ubah seperti halnya mereka, orang-orang ini. Gie memang benar, kebenaran hanya ada diatas langit, sisanya hanya omong kosong. Aku mencoba untuk belajar tidak banyak bicara. Lebih baik diam atau bicara bermakna. Kebanyakan dari perempuan tidak bisa menjaga mulutnya. Mungkin aku salah satu diantaranya. Ada sebagian dari mereka sadar dan sisanya tidak. Aku tahu betapa bahayanya jika lidah berucap sekenanya. Lidah lebih dari sekedar senjata, bom atom maupun nuklir. Tapi yang jelas dia seperti bumerang yang akan siap menghantam tuannya. Percaya atau tidak suatu hari nanti kau akan lebih memilih tertusuk sebilah pedang dari pada sepotong lidah.

Antara Chairil Anwar, Tipler, Young and Freedman juga Francis Bitter



Young and Freedman mungkin sudah lelah karena sudah aku bolak-balik dengan malasnya, dan mereka berkata “Apa yang kau cari sebenarnya? Sepertinya kau sama sekali tidak mengerti.” Francis Bitter mendengus karena tak tersentuh lalu berkata, “Sepertinya kau tak membutuhkan aku, untuk apa aku disini dan dibiarkan hingga berdebu?” Chairil Anwar hanya tertawa, mengisap batang rokok yang diapitnya di jari lalu menghembuskannya dengan santai. Kemudian berkata pada Young and Freedman, “Hembus kau aku tak peduli”. Setelah itu dia menoleh kepada Francis Bitter, “Mampus kau dikoyak sepi”. Young and Freedman membisu, Tipler angkat bicara, “Lalu bagaimana dengan nasibku yang terkadang dilupakan?” Chairil Anwar menghembuskan asap rokok dari mulutnya dan berkata “Ah, jawab sendiri, nasib adalah kesunyian masing-masing”. Lalu dia tertawa tak henti.