Rabu, 28 Januari 2015

Gie Memang Benar

Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka merasa benar, dan menganggap semua orang menyukai, menyanjung dan mengagungkannya? Jangan tanya padaku siapa orang-orang ini. Karena jika aku menyebutnya, aku tak ubah seperti halnya mereka, orang-orang ini. Gie memang benar, kebenaran hanya ada diatas langit, sisanya hanya omong kosong. Aku mencoba untuk belajar tidak banyak bicara. Lebih baik diam atau bicara bermakna. Kebanyakan dari perempuan tidak bisa menjaga mulutnya. Mungkin aku salah satu diantaranya. Ada sebagian dari mereka sadar dan sisanya tidak. Aku tahu betapa bahayanya jika lidah berucap sekenanya. Lidah lebih dari sekedar senjata, bom atom maupun nuklir. Tapi yang jelas dia seperti bumerang yang akan siap menghantam tuannya. Percaya atau tidak suatu hari nanti kau akan lebih memilih tertusuk sebilah pedang dari pada sepotong lidah.

Antara Chairil Anwar, Tipler, Young and Freedman juga Francis Bitter



Young and Freedman mungkin sudah lelah karena sudah aku bolak-balik dengan malasnya, dan mereka berkata “Apa yang kau cari sebenarnya? Sepertinya kau sama sekali tidak mengerti.” Francis Bitter mendengus karena tak tersentuh lalu berkata, “Sepertinya kau tak membutuhkan aku, untuk apa aku disini dan dibiarkan hingga berdebu?” Chairil Anwar hanya tertawa, mengisap batang rokok yang diapitnya di jari lalu menghembuskannya dengan santai. Kemudian berkata pada Young and Freedman, “Hembus kau aku tak peduli”. Setelah itu dia menoleh kepada Francis Bitter, “Mampus kau dikoyak sepi”. Young and Freedman membisu, Tipler angkat bicara, “Lalu bagaimana dengan nasibku yang terkadang dilupakan?” Chairil Anwar menghembuskan asap rokok dari mulutnya dan berkata “Ah, jawab sendiri, nasib adalah kesunyian masing-masing”. Lalu dia tertawa tak henti.