Dentingnya bergerak menjadi riak tak terbendung
Panasnya berganti angin dingin
Menebarkan daun yang dulu kita lihat hijau
Membawa ranting yang dulu bertengger burung manja
Sunyinya dulu ramai kini senyap
Cuma bisa mengaduh dalam diam
Sambil menghirup aroma rumput kering yang kini basah
Kemana denting berlalu?
Kemana waktu mengadu?
Saat disini jadi sepi berteman angin dingin
Tik tak tik tak
Itu bunyi waktu? Atau anak adam merongrong dikejar waktu?
Untuk yang diujung sana...
Minggu, 28 Desember 2014
Jumat, 12 Desember 2014
Kacang Merah
Ketika aku termenung sendiri, aku seringkali
teringat masa kecilku. Tepatnya enam tahun yang lalu saat aku masih duduk di
bangku kelas enam SD. Jika aku mengingat itu, aku seringkali tersenyum sendiri.
Jika tahu kelak jadinya akan begitu tak akan pernah aku lakukan hal itu bersama
temanku. Percaya atau tidak setelah kejadian itu aku mulai percaya tentang
hukum karma. Jika waktu kecil kau selalu diberitahu orang tuamu atau guru
ngajimu tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan karena dilarang oleh agama
seperti mencuri atau berbohong, maka jangan pernah sekali-kali melakukannya.
Ini bukan masalah karena hal itu dilarang oleh agama ataupun dosa karenanya,
itu sudah merupakan hal yang jelas dan pasti. Tapi ini masalah keburukan,
kesialan atau apapun kau menyebutnya yang disebabkan karena tindakan yang kau
lakukan. Tapi aku lebih suka menyebutnya
hukum karma.
Pada suatu hari kami ditugaskan oleh guru
kami untuk menanam kacang merah pada selembar kapas basah yang disimoan dalam
gelas plastik. Entahlah setan apa yang merasuki pikiranku dan temanku saat guru
kami memberi tugas itu. Kami hanya saling berpandangan, dan sepertinya muncul
ide gila dari pikiran kami. Saat itu kami hanya berpikir bagaimana caranya kami
melakukan tugas itu tanpa memikirkan jalan yang digunakan itu benar atau tidak.
Pengalamanku ini memberiku pelajaran yang tidak akan pernah kulupakan hingga
kini. Yaitu selalu pikirkan akibat dari tindakan yang kau lakukan sekalipun kau
tidak tahu apa yang akan terjadi nanti dan bersiaplah untuk segala kemungkinan
yang akan kau hadapi nanti.
Akhirnya sepulang sekolah kamipun melancarkan
ide kami. Sebenarnya ini ide temanku. Tapi bukan berarti juga aku ingin
sepenuhnya disalahkan, hanya saja ketika pertama kali temanku menyampaikan ide
gilanya aku hanya bengong menatapnya tidak percaya tapi harus aku akui juga
dalam hati aku sangat menyetujui itu.
“Kau tahu kawan aku punya ide bagus bagaimana caranya agar kita bisa mengerjakan
tugas kita.” Sahutnya dengan mata berbinar-binar.
Aku tidak tahu dia mendapat ilham dari mana,
tapi sempat aku mengira dia mendapat ilham dari setan. Karena idenya, kau tahu,
mencuri. Oh, sungguh perbuatan yang tercela. Tapi yah, seperti yang kau tahu
kami saat itu terlalu terobsesi dengan ide kami atau mungkin bias disebut
kenakalan masa kecil kami.
“Kau
tahu, sayangkan kalau kita membeli banyak kacang merah sedangkan yang kita
pakai hanya 2 atau 3 bijji saja. Kalau kita mencuri barang 2 atau 3 biji saja
tentu tidak akan ketahuan ornag yang punya.” Rayunya membujukku.
Mendengarnya berkata seperti itu semakin
sepakat dengannya, dan salah satu target yang akan menjadi korban dari tindakan
kurang ajar kami adalah warung Bu Oom. Kenapa? Karena kami sudah
mempertimbangkan bahwa warung Bu Oom merupakan tempat yang strategis dengan
beberapa alas an. Pertama, warung Bu Oom terdapat di belokan jalan yanh jika
siang hari terlihat sepi. Itu sebabnya kami mulai target operasi kami pada
siang hari. Kedua, jika kami melewati warung Bu Oom selalu tersedia berbagai
macam sayuran. Kacang merah? Sudah barang tentu ada.
Ketika
operasi kurang ajar kami akan dimulai kami telah menyiapkan modus yang tepat,
yaitu kami pura-pura akan membeli es. Kenapa kami membeli es? Karena Bu Oom
pasti akan pergi kebalik dapur umtuk mengambil es dan meninggalkan warung pada
saat itulah kami beraksi. Betul-betul rencana yang snagt sempurna, sempurna
jahatnya. Setelah itu kami bertemu sehabis pulang sekolah untuk melancarkan
aksi kami. Terlebih dahulu kami memastikan lingkungan sekitar warung Bu Oom
aman dan tidak ada orang mencurigakan. Lalu kami memulai operasi.
“Beliii…Ibu
beli es…”Bu Oom lalu keluar.
“Beli
es neng? Berapa?” Tanya Bu Oom.
“Dua
bu.” Jawabku singkat.
Aku selintas merasa iba melihat wajah Bu Oom
yang polos dan tidak mengetahui rencana buruk dibalik transaksi jual beli di
warungnya saat itu. Ketika Bu Oom kembali masuk untuk mengambil es yang kami
pesan. Temanku mulai menyenggol tanganku dan menyuruhku untuk mengambil
beberapa biji kacang merah yang ada di plastik terbuka dihadapan kami. Dalam posisi
itu aku merasa bimbang, bingung apakah aku harus mengikuti kata hatiku untuk
tidak mengambilnya karena tadi aku melihat wajah polos Bu Oom yang tidak
bersalah. Disisi lain temanku terus menyenggol tanganku menyuruhku untuk
mengambil biji kacang merah itu. Sebelum Bu Oom akan kembali lagi ke warung
untuk memberikan es yang kami pesan
kepada kami, temanku berinisiatif mengambil beberapa butir kacang merah dan
memasukannya ke saku celananya dengan secepat kilat hingga aku tak
menyadarinya. Aku pun memberikan uang kepada Bu Oom dengan keringat dingin
mengucur dari dahiku. Setelah sampai rumah temanku menunjukan beberapa biji
kacang merah yang didapatkan dari hasil “berburu” kami. Kami tertawa, entah
kenapa perasaan bersalah yang dari tadi menyergapku kini hilang karena dalam
pikiran kami yang terlintas adalah bahwa sekarang kami dapat mengerjakan tugas
dengan baik.
Yah
begitulah, tapi itu belum cukup sampai disini, seperti tadi yang sudah aku
katakan. Hal buruk benar-benar terjadi pada kami. Diantara teman-teman sekelas
hanya tanaman kacang merah kami berdua yang tidak tumbuh. Alhasil, kami
mendapat nilai yang jelek. Kau tahu, jangankan tumbuh, yang ada kacang yang
kami tanam malah busuk. Sebusuk perilaku yang kami lakukan untuk mendapatkan
biji kacang merah. Ini menjadi pelajaran hidup yang akan selalu aku ingat. Kita
akan menuai hasil dari apa yang kita perbuat, dan yang kami dapatkan dari
perilaku buruk kami adalah ganjarannya, yang sudah kubilang, hukum karma.
Satria Piningit
Akhir-akhir aku terus menggeleng kepala
melihat tontonan televisi yang semakin tak mendidik. Pembodohan karakter anak
bangsa. Pintar sekali. Melalui tayangan televisi yang tiap hari dipertontonkan
dan dilihat oleh anak-anak yang belum cukup umur merupakan hal yang sangat
mudah untuk meracuni mental para calon generasi bangsa. Siapa lagi yang harus
disalahkan kalau begitu. Apakah para orang tua bisa selalu mengawasi anak-anak
mereka setiap menitnya? Bagaimana dengan para orang tua yang terlalu sibuk
dengan pekerjaannya, bahkan untuk mengurus anaknya sendiri mereka rela
mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk menyewa pengasuh. Lalu salah siapa? Apa
salah pemerintah? Lembaga penyiarankah? Heran aku, terlalu banyak masalah
di negri ini. Apa aku harus pindah
keluar negri atau menjadi TKW? Ah, rasa-rasanya tidak. Aku tak ingin seperti Munaroh
yang pulang dari negri tetangga dengan meninggalkan bekas setrika di punggung,
tangan, wajah dan kaki. Atau seperti Surti yang pulang dengan membawa oleh-oleh
anak dari majikannya. Sialan, mereka pikir bisa membeli harga diri orang
Indonesia dengan rupiahan apa?! Mereka pikir telah membeli budak Indonesia,
bukannya menyewa jasa pembantu orang Indonesia. Dasar bedebah!
Dulu boleh kami
dijajah tapi tidak lagi untuk sekarang. Tapi kupikir bangsa Indonesia kini
sedang dijajah. Dijajah oleh tayangan tak bermoral, sistem ekonomi kapitalis
yang menginjak pedagang kecil, pendidikan tak merata dan segudang masalah yang
menimpa bangsa ini. Aku jadi ingin menangis. Mungkin Indonesia juga, tapi air
mata ibu pertiwi sudah terlalu kering untuk ditumpahkan lagi. Terlalu banyak.
Terlalu banyak yang perlu ditangisi. Terlalu banyak masalah yang harus
diselesaikan. Terlalu banyak hutang yang perlu dibayar hingga janin dalam
kandungan pun perlu menanggung hutang negara ini. Apakah satria piningit itu
akan betul-betul ada? Atau dia hanya dongeng dalam kisah pewayangan semata?
Atau jika betul-betul ada, kami betul-betul menunggumu untuk bisa membuat ibu
pertiwi kembali tersenyum. Kami betul-betul menunggumu…
Bandung,
27 november 2014
Langganan:
Postingan (Atom)