Jumat, 12 Desember 2014

Satria Piningit

           Akhir-akhir aku terus menggeleng kepala melihat tontonan televisi yang semakin tak mendidik. Pembodohan karakter anak bangsa. Pintar sekali. Melalui tayangan televisi yang tiap hari dipertontonkan dan dilihat oleh anak-anak yang belum cukup umur merupakan hal yang sangat mudah untuk meracuni mental para calon generasi bangsa. Siapa lagi yang harus disalahkan kalau begitu. Apakah para orang tua bisa selalu mengawasi anak-anak mereka setiap menitnya? Bagaimana dengan para orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan untuk mengurus anaknya sendiri mereka rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk menyewa pengasuh. Lalu salah siapa? Apa salah pemerintah? Lembaga penyiarankah? Heran aku, terlalu banyak masalah di  negri ini. Apa aku harus pindah keluar negri atau menjadi TKW? Ah, rasa-rasanya tidak. Aku tak ingin seperti Munaroh yang pulang dari negri tetangga dengan meninggalkan bekas setrika di punggung, tangan, wajah dan kaki. Atau seperti Surti yang pulang dengan membawa oleh-oleh anak dari majikannya. Sialan, mereka pikir bisa membeli harga diri orang Indonesia dengan rupiahan apa?! Mereka pikir telah membeli budak Indonesia, bukannya menyewa jasa pembantu orang Indonesia. Dasar bedebah!
Dulu boleh kami dijajah tapi tidak lagi untuk sekarang. Tapi kupikir bangsa Indonesia kini sedang dijajah. Dijajah oleh tayangan tak bermoral, sistem ekonomi kapitalis yang menginjak pedagang kecil, pendidikan tak merata dan segudang masalah yang menimpa bangsa ini. Aku jadi ingin menangis. Mungkin Indonesia juga, tapi air mata ibu pertiwi sudah terlalu kering untuk ditumpahkan lagi. Terlalu banyak. Terlalu banyak yang perlu ditangisi. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. Terlalu banyak hutang yang perlu dibayar hingga janin dalam kandungan pun perlu menanggung hutang negara ini. Apakah satria piningit itu akan betul-betul ada? Atau dia hanya dongeng dalam kisah pewayangan semata? Atau jika betul-betul ada, kami betul-betul menunggumu untuk bisa membuat ibu pertiwi kembali tersenyum. Kami betul-betul menunggumu…
                                                                                                                Bandung, 27 november 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar