Jumat, 12 Desember 2014

Kacang Merah


Ketika aku termenung sendiri, aku seringkali teringat masa kecilku. Tepatnya enam tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Jika aku mengingat itu, aku seringkali tersenyum sendiri. Jika tahu kelak jadinya akan begitu tak akan pernah aku lakukan hal itu bersama temanku. Percaya atau tidak setelah kejadian itu aku mulai percaya tentang hukum karma. Jika waktu kecil kau selalu diberitahu orang tuamu atau guru ngajimu tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan karena dilarang oleh agama seperti mencuri atau berbohong, maka jangan pernah sekali-kali melakukannya. Ini bukan masalah karena hal itu dilarang oleh agama ataupun dosa karenanya, itu sudah merupakan hal yang jelas dan pasti. Tapi ini masalah keburukan, kesialan atau apapun kau menyebutnya yang disebabkan karena tindakan yang kau lakukan. Tapi aku lebih  suka menyebutnya hukum karma.
Pada suatu hari kami ditugaskan oleh guru kami untuk menanam kacang merah pada selembar kapas basah yang disimoan dalam gelas plastik. Entahlah setan apa yang merasuki pikiranku dan temanku saat guru kami memberi tugas itu. Kami hanya saling berpandangan, dan sepertinya muncul ide gila dari pikiran kami. Saat itu kami hanya berpikir bagaimana caranya kami melakukan tugas itu tanpa memikirkan jalan yang digunakan itu benar atau tidak. Pengalamanku ini memberiku pelajaran yang tidak akan pernah kulupakan hingga kini. Yaitu selalu pikirkan akibat dari tindakan yang kau lakukan sekalipun kau tidak tahu apa yang akan terjadi nanti dan bersiaplah untuk segala kemungkinan yang akan kau hadapi nanti.
Akhirnya sepulang sekolah kamipun melancarkan ide kami. Sebenarnya ini ide temanku. Tapi bukan berarti juga aku ingin sepenuhnya disalahkan, hanya saja ketika pertama kali temanku menyampaikan ide gilanya aku hanya bengong menatapnya tidak percaya tapi harus aku akui juga dalam hati aku sangat menyetujui itu.
“Kau tahu kawan aku punya ide bagus  bagaimana caranya agar kita bisa mengerjakan tugas kita.” Sahutnya dengan mata berbinar-binar.
Aku tidak tahu dia mendapat ilham dari mana, tapi sempat aku mengira dia mendapat ilham dari setan. Karena idenya, kau tahu, mencuri. Oh, sungguh perbuatan yang tercela. Tapi yah, seperti yang kau tahu kami saat itu terlalu terobsesi dengan ide kami atau mungkin bias disebut kenakalan masa kecil kami.
          “Kau tahu, sayangkan kalau kita membeli banyak kacang merah sedangkan yang kita pakai hanya 2 atau 3 bijji saja. Kalau kita mencuri barang 2 atau 3 biji saja tentu tidak akan ketahuan ornag yang punya.” Rayunya membujukku.
Mendengarnya berkata seperti itu semakin sepakat dengannya, dan salah satu target yang akan menjadi korban dari tindakan kurang ajar kami adalah warung Bu Oom. Kenapa? Karena kami sudah mempertimbangkan bahwa warung Bu Oom merupakan tempat yang strategis dengan beberapa alas an. Pertama, warung Bu Oom terdapat di belokan jalan yanh jika siang hari terlihat sepi. Itu sebabnya kami mulai target operasi kami pada siang hari. Kedua, jika kami melewati warung Bu Oom selalu tersedia berbagai macam sayuran. Kacang merah? Sudah barang tentu ada.
          Ketika operasi kurang ajar kami akan dimulai kami telah menyiapkan modus yang tepat, yaitu kami pura-pura akan membeli es. Kenapa kami membeli es? Karena Bu Oom pasti akan pergi kebalik dapur umtuk mengambil es dan meninggalkan warung pada saat itulah kami beraksi. Betul-betul rencana yang snagt sempurna, sempurna jahatnya. Setelah itu kami bertemu sehabis pulang sekolah untuk melancarkan aksi kami. Terlebih dahulu kami memastikan lingkungan sekitar warung Bu Oom aman dan tidak ada orang mencurigakan. Lalu kami memulai operasi.
          “Beliii…Ibu beli es…”Bu Oom lalu keluar.
          “Beli es neng? Berapa?” Tanya Bu Oom.
          “Dua bu.” Jawabku singkat.
Aku selintas merasa iba melihat wajah Bu Oom yang polos dan tidak mengetahui rencana buruk dibalik transaksi jual beli di warungnya saat itu. Ketika Bu Oom kembali masuk untuk mengambil es yang kami pesan. Temanku mulai menyenggol tanganku dan menyuruhku untuk mengambil beberapa biji kacang merah yang ada di plastik terbuka dihadapan kami. Dalam posisi itu aku merasa bimbang, bingung apakah aku harus mengikuti kata hatiku untuk tidak mengambilnya karena tadi aku melihat wajah polos Bu Oom yang tidak bersalah. Disisi lain temanku terus menyenggol tanganku menyuruhku untuk mengambil biji kacang merah itu. Sebelum Bu Oom akan kembali lagi ke warung untuk memberikan es yang kami  pesan kepada kami, temanku berinisiatif mengambil beberapa butir kacang merah dan memasukannya ke saku celananya dengan secepat kilat hingga aku tak menyadarinya. Aku pun memberikan uang kepada Bu Oom dengan keringat dingin mengucur dari dahiku. Setelah sampai rumah temanku menunjukan beberapa biji kacang merah yang didapatkan dari hasil “berburu” kami. Kami tertawa, entah kenapa perasaan bersalah yang dari tadi menyergapku kini hilang karena dalam pikiran kami yang terlintas adalah bahwa sekarang kami dapat mengerjakan tugas dengan baik.
          Yah begitulah, tapi itu belum cukup sampai disini, seperti tadi yang sudah aku katakan. Hal buruk benar-benar terjadi pada kami. Diantara teman-teman sekelas hanya tanaman kacang merah kami berdua yang tidak tumbuh. Alhasil, kami mendapat nilai yang jelek. Kau tahu, jangankan tumbuh, yang ada kacang yang kami tanam malah busuk. Sebusuk perilaku yang kami lakukan untuk mendapatkan biji kacang merah. Ini menjadi pelajaran hidup yang akan selalu aku ingat. Kita akan menuai hasil dari apa yang kita perbuat, dan yang kami dapatkan dari perilaku buruk kami adalah ganjarannya, yang sudah kubilang, hukum karma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar